Minggu, 03 Februari 2013

Tidak Selamanya Minoritas itu Buruk

source: bit.ly/WhyxY8 

That's why it is often a blessing to be a minority, and a curse, sometimes, to be a majority. :) - @ulil
Kali ini gue mau cerita pengalaman gue jadi bagian minoritas -- yang sampai sekarang masih gue jalani. Gue mau bagi-bagi ke kalian gimana rasa naik-turunnya. "Emang gimana sih rasanya, Shab?" Rasanya tuh kaya nano nano yang manis, asem, asin; rame rasanya haha


Jadi minoritas sebenernya ga selalu ga enak kok. Ada saat-saat di mana gue merasa gue beruntung berada di kalangan minoritas. Karena,




Keuntungan jadi minoritas di manapun adalah mereka dipaksa kerja keras untuk bisa bertahan. Akhirnya mereka mencapai "excellence". - @ulil 

 Yup. Berada di kalangan minoritas ngajarin gue untuk bekerja lebih keras dari sebelumnya. Gue tipe orang yang kompetitif. Dengan berada di kalangan minoritas, gue selalu bilang ke diri gue sendiri kalo gue ga boleh kalah sama mereka yang minoritas. Minoritas tidak menjamin apa yang akan terjadi kedepannya.
Bangsa yg mayoritas malah kadang malas, sbb merasa aman, berada di "comfort zone". Cenderung tak kerja keras. - @ulil
Gue belajar untuk menjadi orang yang berbeda, misalnya lebih terbuka ke orang lain, terutama teman-teman gue yang "senasib". Sebelum gue masuk ke "kalangan" ini, gue orang yang tertutup. Gue lebih milih untuk sendiri daripada sama orang yang ga se-interest sama gue. Setelah gue ngerasain jadi minoritas, gue sadar orang-orang yang "senasib" sama gue itu lah "keluarga" gue. Mereka tau bagian kecil yang gue rasa.

Gue juga belajar untuk lebih sabar, karena kesabaran sangat dibutuhkan saat dalam kondisi ini. Kesabaran gue selama ini sering diuji. Lebih sering kalo dibandingin sebelum gue ngerasain jadi minoritas. Kenapa?

Ketika seseorang masuk ke dalam komunitas yang kalah dalam jumlah (di sini dianggap minoritas), kemungkinan mereka lebih besar untuk "tertindas" oleh mereka yang menang dalam jumlah (di sini dianggap mayoritas). Bahkan, terkadang orang di luar kedua "kubu" ini pun ikut campur. Dia yang tidak suka dengan kaum minoritas, membuat masalah yang diakunya adalah perbuatan kaum minioritas. Dia yang tidak suka dengan kaum mayoritas akan memancing amarah minoritas terhadap mayoritas.

Terkadang, ketidakharmonisan antara mayor dan minor bukan berasal dari anggotanya, melainkan oknum-oknum itu. Dan saat kejadian kaya di atas terjadi, kedua sisi pun buta. Mereka di-"kontrol" oleh orang di luar sisi ini dan tidak bisa memberontak. Ibaratnya orang pacaran yang awalnya harmonis jadi sering ribut karena salah satu terlalu genit sama orang lain. Kalimat sebelum ini boleh diabaikan.

Dan saat itu lah kesabaran diuji. Mungkin bagi yang belum pernah ngerasain bakal bingung gimana rasanya. Mikir kalo hal kaya gitu sepele. Well, minoritas yang rasa kekeluargaannya (biasanya) kental, akan merasa terhina, merasa harga diri mereka semua diinjak-injak meskipun hanya menyangkut beberapa orang. Hal kecil ketika menyangkut sesuatu yang besar bisa menjadi masalah yang besar pula :)


Gue rasa sekian untuk kali ini. Terima kasih sudah menikmati post pertama gue bulan ini. Maaf kalo jarang nge-post. Jadwal kelas 3 yang padat mulai terasa :) tweets di atas aja gue liat sebelum try out tadi pagi haha

Signed,


Shabrina K (@shbrnk)




4 komentar:

  1. benar tapi sebenernya atau seharusnya, mayoritas merangkul minoritas agar terjadi keselarasan dalam setiap langkahnya ;)

    BalasHapus
  2. emangnya mbak rina jadi minoritas apa-an? grup apa ayo kelompok apa gitu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. hmm... kalo dibilang grup atau kelompok juga bukan sih sebenernya :|

      Hapus
  3. minoritas justru lebih solid :]

    BalasHapus